Skip to main content

SASTRA


Kajian Banding Tematik: Kekerasan Pada Anak dalam Karya Elfriede Jelinek Sang Guru Piano dan Djenar Maesa Ayu Nayla
A.    Yani*
Kajian ini difokuskan pada pengajian afinitas tema yang membandingkan karya Elfriede Jelinek Sang Guru Piano dan Djenar Maesa Ayu Nayla. Sosok Ibu dalam kedua novel ini sangat berperan terhadap pembentukan watak dan prilaku menyimpang anaknya. Dalam novel Sang guru piano kekerasan mental yang dialami oleh Erika Kohut berdampak pada prilaku seks menyimpang. Sedangkan pada novel Nayla kekerasan fisik dan mental terjadi pada Nayla yang berdampak pada kehidupan Nayla yang liar, terjerumus pada tindakan mencuri, merokok, minuman keras dan seks bebas. 

A. PENDAHULUAN
          Pendekatan sastra banding, digunakan untuk membandingkan karya sastra satu Negara dengan Negara lain. Dengan kata lain, sastra banding pada dasarnya sama dengan perbandingan karya-karya sastra dunia, tidak harus terpaku pada karya-karya klasik dari sastrawan terkenal, karena analisis sastra banding tidak jauh berbeda dengan kegiatan apresiasi sastra.
Hanya saja ada hal-hal yang perlu diperhatikan dalam sastra banding. Menurut Wellek dan Warren (1962:39), sastra banding adalah studi sastra banding secara totalitas, karena sastra banding identik dengan sastra dunia, sastra umum, atau sasra universal.
          Dalam pengajian sastra banding harus dipahami konsep sastra nasional, sastra dunia dan sastra umum, karena istilah tersebut sangat terkait dengan persoalan seputar sastra banding. Menurut Hutomo (1993:7) sastra nasional lahir dan hadir pada wilayah terbatas dalam sebuah Negara, sedangkan sastra umum kehadirannya berada di atas wilayah sejumlah Negara dan dikelompokkan ke dalam unit-unit, dan sastra dunia dalam kaitannya dengan sastra banding sosoknya dapat dilihat dari sisi ruang, waktu, kualitas, dan intensitas. Selanjutnya, Hutomo (1993:9-13) menyatakan akan pentingnya tiga unsur pokok dalam pengajian sastra banding yaitu afinitas, tradisi dan pengaruh. Unsur afinitas dalam sastra banding adalah suatu keterkaitan antar unsur-unsur intrinsik dalam karya sastra seperti: unsur struktur, gaya, tema, dan lain-lain. Unsur tradisi lebih terkait dengan faktor kesejahteraan penciptaan sebuah karya sastra. Unsur pengaruh merupakan hal penting dan kedudukannya dapat disamakan dengan metode pengajian sastra banding itu sendiri, sebab ia menyangkut sumber inspirasi pengarang dan hubungan antar sesama.
          Penjelasan di atas menekankan tiga unsur pokok dalam pengajian sastra banding yaitu afinitas, tradisi dan pengaruh. Dalam karya tulis ini difokuskan pada pengajian afinitas karya sastra yang menekankan pada tema. Dalam hal ini yang akan dibandingkan adalah karya Elfriede Jelinek Sang Guru Piano dan Djenar Maesa Ayu Nayla dengan anggapan dasar kedua karya ini memiliki kesamaan tema tentang kekerasan Ibu. Atas dasar kesamaan tema yang terdapat dalam dua novel tersebut akan dikaji sastra tematik, yaitu kajian banding kekerasan Ibu yang berdampak pada prilaku mental menyimpang anak. Melalui kajian banding ini, akan dikaji persamaan dan perbedaan bentuk-bentuk kekerasan dalam dua novel tersebut. Disamping itu, juga akan diungkap dampak kekerasan yang terjadi dari dua novel.

B. Kajian Teori
1. Konsep Tema
Sebuah cerita rekaan harus mempunyai tema atau dasar. Dasar inilah yang paling penting dalam memaparkan sebuah cerita, karena cerita yang tidak ada dasarnya tidak akan menarik sama sekali. Menurut Saad dalam Mido (1994:17) tema adalah sesuatu yang menjadi persoalan pengarang. Di dalamnya terbayang pandangan hidup atau cita pengarang. Persoalan inilah yang dihidangkan pengarang, kadang-kadang atau sering juga dengan pemecahannya sekaligus. Pemecahan inilah yang diistilahkan dengan amanat.
Tema dalam tulisan non sastra harus jelas terbaca, biasanya terangkum dalam sebuah kalimat yang singkat, alinea/rangkaian alinea. Tema juga sering dipakai sebagai judul karangan (hal yang tidak boleh terjadi dalam karya sastra). Dalam karya sastra tema tersembunyi atau tersirat, atau dalam cerita rekaan yang baik, tema itu akan tersamar dalam sebuah cerita. Menurut Damono (1999:19-21) semakin halus tema terselung dalam karya semakin baik pula karya tersebut. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka tema akan menjadi jiwa seluruh bagian cerita tersebut. Untuk menentukan tema yang baik dari sebuah karya fiksi, maka ia harus disimpulkan dari keseluruhan cerita dan tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita.
Membaca novel Salah Asuhan, tema apakah yang menjadi pokok tujuan utamanya, apakah tentang kawin paksa?apakah tentang penolakan bangsa sendiri?atau apakah tentang perkawinan Timur-Barat?. Kesemuanya memungkinkan dapat mengarah menuju tema utama dari novel tersebut, tetapi kesalahan mendidik anak merupakan tema utama yang menjadi tujuan pokok novel Salah Asuhan. Menutur Stanton (Nurgiyantoro, 1995:70) tema sebagai makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana, atau kurang lebih tema dapat bersinonim dengan ide utama (central idea) dan tujuan utama (central purpose).

2. Konsep Kekerasan
            Secara umum konsep kekerasan pada intinya mengacu pada dua hal. Pertama, merupakan suatu tindakan untuk menyakiti orang lain, sehingga meyebabkan luka-luka atau mengalami kesakitan. Kedua, merujuk pada penggunaan kekuatan fisik yang tidak lazim dalam suatu kebudayaan (Wiyata, 2007:7). Konsep kekerasan meliputi pengertian yang sangat luas, mulai dari tindakan penghancuran, harta benda, pemerkosaan, pemukulan, perusakan, penyiksaan, sampai dengan pembunuhan.
Dalam Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dinyatakan bahwa setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga, (www.djpp.depkumham.go.id)
            Penelitian dan studi-studi dalam bidang ilmu sosial tentang kekerasan pada umumnya cenderung mengabaikan dan kurang memerhatikan dimensi budaya karena kuatnya anggapan bahwa kekerasan sangat erat kaitanya dengan faktor psikologi. Abbink (Wiyata, 2008:8) menyatakan pandangan ethnologis tentang kekerasan selalu lebih memperhatikan insting dan faktor-faktor biologis dari pada faktor-faktor sosial budaya. Bahkan dimensi-dimensi moralitas atau gender sering diabaikan.
            Selanjutnya, Abbink (Wiyata, 2002:8) menyatakan pandangan-pandangan instrumental tentang tindakan kekerasan masih sangat dominan. Menurut pandangan ini, kekerasan diinterpretasikan sebagai tingkah laku yang direncanakan. Oleh karena itu, dapat diduga dari kondisi material, eksploitasi terhadap manusia, atau kondisi psikologis (frustasi agresi). Tindakan kriminal biasanya banyak terjadi pada orang yang sementara mengalami tekanan-tekanan. Tindakan-tindakan kejahatan tidak hanya bisa tumbuh dari dalam diri manusia itu sendiri, melainkan juga tekanan-tekanan yang datang dari luar, seperti pengaruh pergaulan kerja dan pergaulan dalam lingkungan masyarakat tertentu.

C. Analisis dan Hasil
            Berdasarkan ulasan pada latar belakang dan teori-teori, penelitian ini akan mengaji persamaan dan perbedaan bentuk-bentuk kekerasan dalam kedua novel dan mengungkap dampak kekerasan yang terjadi dari kedua novel. Novel Sang Guru Piano menceritakan seorang Ibu yang mengungkung kebebasan hidup anaknya.
Dalam novel Sang Guru Piano, Erika adalah sosok anak yang dirampas kebebasanya oleh Ibu. Erika, mulai dari kecil sampai di usianya yang hampir menginjak usia 40, ia tetap saja harus selalu patuh kepada Ibunya, mulai dari gaya dan pilihan hidup semua ditentukan oleh Ibunya. Hal ini tentunya, merampas hak-hak hidup Erika sebagai seorang anak yang ingin tumbuh dewasa sebagaimana layaknya gadis-gadis lainnya. Dalam novel Sang Guru Piano, kekerasan bukanlah kekerasan fisik melainkan kekerasan mental yang membuat Erika tertekan, ini terjadi ketika ibu Erika menginginkannya agar ia menjadi pemain piano yang sangat terkenal. Namun, keinginanyanya tersebut tidak dibarengi dengan perhatian dan pengertian akan kebutuhan hidup Erika. Keinginan ibu Erika tersebut membuat Erika tidak bisa menikmati hidupnya secara normal sebagaimana gadis-gadis lain menjalani masa remaja mereka. Ibu  Erika sangat ketat mengawasi kehidupannya dan tidak memberikan bebebasan hidup bagi Erika. Hal ini terungkap dalam narasi berikut.

Ibunya menyelidik, kenapa Erika baru pulang sekarang, begitu terlambat tiba di rumah? Bukankah murid terakhir sudah tiga jam yang lalu diusir dengan hina oleh Erika. Kamu kira Ibu tidak tahu kamu dimana, Erika. Setiap anak harus mengaku kepada ibunya tanpa diminta, biarpun pengakuan itu tak pernah ibu percaya, sebab anak itu sering bohong (Jelinek, 2006:1).

Kutipan di atas menunjukan, sikap Ibu Erika yang begitu ketat mengontrol aktivitas Erika yang tidak memberikan waktu bagi Erika untuk bisa sedikit bersantai setelah kerja. Hal ini berakibat pada perkembangan mental Erika, dia harus selalu mencari alasan yang baik untuk bisa selalu memberikan jawaban kepada Ibunya, bahkan berbohong sekaligus. Sikap Ibu Erika tentunya bukanlah sikap yang tepat dalam mendidik dan memotivasi Erika untuk menjadi sesorang yang sukses. Erika merasa tidak nyaman dan terkekang oleh sikap sang Ibu yang tidak memberikan ia kebebasan hidup atau bahkan menikmati hasil kerjanya.

… dengan selembar pakaian bermerek yang jelas baru saja dibeli. Sang Ibu geram pada busana itu. Tadi, ketika masih terjepit pada gantungan di toko, baju itu tampak begitu menggoda, berwarna-warni dan lentur. Kini ia tergeletak di sana seperti lap kusut dan tercabik oleh sorotan tajam mata Sang Ibu. Uang yang kamu habiskan itu adalah jatah tabungan! Sekarang keburu terpakai. Padahal baju ini bisa menjelma sebagai setoran dalam buku tabungan Bank Austria (Jelinek, 2006:1-2).

Ibu Erika nampak sangat marah ketika mengetahui Erika membeli baju baru,  tanpa menghiraukan perasaan Erika, Ibunya langsung membuang baju tersebut ketempat sampah. Ibunya menganggap uang tesebut tidak seharusnya dihambur-hamburkan, sehingga mereka bisa hidup hemat dan bisa bersenang-senang. Sikap Ibu Erika yang tidak mau kompromi dengan kebebasan hidup yang diinginkan Erika membuat perkembangan mental Erika menjadi terusik. Sebagai seorang Gadis yang normal tentunya Erika Ingin selalu tampil cantik, anggun dan menawan. Namun ibunya beranggapan, hal tersebut tidaklah perlu karena akan banyak laki-laki tergoda padanya yang akan menghambat karirnya dan akan menghabiskan banyak uang, Ibunya selalu saja bersikap kurang bijak dan mengekang kebutuhan hidup Erika. “…sang Ibu mencoba merebut baju baru itu dari cengkeraman jemari putrinya. Tapi jari-jari itu terlalu kuat. Lepas, kata ibunya, serahkan baju itu! Kamu ini tergila-gila penampilan. Untuk itu kamu pantas dihukum”  (Jelinek, 2006:5).
Sikap ibu Erika yang selalu mengabaikan perasaan Erika, tidak terlepas dari keinginan sang Ibu yang menginginkan anaknya menjadi seorang yang sukses yaitu menjadi pemain piano termasyhur sehingga mereka bisa memeras uang dari keberhasilan tersebut. Namun sikap yang seperti ini malah sebaliknya mengaganggu perjalanan karir Erika. Erika merasa terbebani dengan keinginan dan mimpi-mimpi sang Ibu, ditambah lagi sang Ibu memaksa Erika untuk ikut aturan-aturan sang Ibu yang sangat tidak menguntungkan bagi Erika. Tekanan-tekanan sang Ibu kepada Erika berakibat pada perjalanan karir Erika yang tidak mulus.

…gagallah Erika, gagal total, ketika tampil dalam konser Akademik musik maha penting, di depan banyak teman serta kerabat dari pesaingnya, dan di depan ibunya yang duduk mendukung dia seorang diri, padahal Sang Ibu telah mengosongkan kantong untuk mendandani Erika demi pertunjukan itu. Setelah itu, Sang Ibu menampar muka Erika… (Jelinek, 2006:25).

Keberhasilan yang diimpikan sang Ibu jauh dari harapan malah Erika gagal dalam konser Akademik. Kegagalan tersebut tidak membuat sang Ibu untuk introspeksi tentang apa yang salah terhadap Erika. Sang Ibu tidak menyadari kalau sikapnya yang terlalu membatasi kebebasan Erika memengaruhi prestasinya. Kegagalan yang diperoleh Erika mendapat respon negatif dari sang Ibu, respon ini tentunya mempengaruhi kekuatan mental Erika dalam mencapai karir kesuksesannya. Seharusnya ibu Erika memberikan respon positif terhadap kegagalan tersebut, sehingga Erika akan termotivasi untuk memperbaiki dan meraih sukses pada kesempatan berikutnya. Respon yang diberikan sang Ibu menunjukan sikap egois.
Seperti kebanyakan gadis normal lainnya Erika tentunya menginginkan kasih sayang seorang lelaki yang dicintainya, sampai pada suatu hari Erika Jatuh hati pada seorang Lelaki yang bernama Walter Klemer. Walter Klemer adalah murid Erika yang tampan di kelas piano “Erika senang memikirkan Walter Klemer, remaja tampan berambut pirang, yang belakangan ini datang paling awal di pagi hari dan pulang paling akhir di malam hari” (Jelinek, 2006:27). Erika menginginkan kehidupannya layaknya seperti gadis-gadis lainnya yang hidup bebas dicintai dan dikasihi oleh sang kekasih. Bercanda, tersenyum, dan tertwa tanpa ada beban mimpi-mimpi sang Ibu yang merenggut masa remajanya.
Sikap yang tidak bersahabat lagi ditunjukan oleh sang Ibu terhadap pria yang disenangi Erika. Ibunya tidak menginginkan Erika dekat dengan seorang lelaki sebelum ia berhasil menjadi pemain piano terkenal. Target yang ditentukan ibu Erika cukup mengikat hasrat hidup Erika, betapa tidak di usia Erika yang mencapai 30-an tahun tentunya ini adalah usia-usia yang sudah sangat matang bagi Erika untuk menjalin hubungan, bahkan membangun mahliagai rumah tangga yang ia inginkan. Namun, sang Ibu punya aturan main tersendiri, alangkah tersiksanya Erika tidak mampu lepas dari kekangan sang Ibu “Lelaki muda itu tampaknya jatuh cinta padamu, kata Sang Ibu sengit, hatinya tak senang, ketika ia mampir di konservatorium tempat Erika mengajar ” (Jelinek, 2006:29).
Kehidupan Erika yang serba diatur oleh Ibunya membuat Erika merasa jenuh dengan kehidupan seperti ini. Untuk membeli baju baru, jalan-jalan, libur kerja bahkan soal jodoh ada ditangan sang Ibu. Sehingga Erika dengan diam-diam melampiaskan emosi seksualnya yang tertekan dengan menonton pertunjukan seks peep show- pertunjukan adegan erotis. Di tempat tersebut Erika dapat menikmati adegan-adegan seks yang ia inginkan, ini merupakan suatu kenikmatan bagi dirinya sendiri yang tidak pernah ia dapatkan “Namun, dia tetap harus menonton. Demi kenikmatannya sendiri. Selalu setiap kali dia hendak beranjak, ada sesuatu dari atas yang dengan bertenaga mendorong kembali kepalanya yang ditata rapi itu ke depan kaca jendela, mengharuskan dia terus melihat” (Jelinek, 2006:53-54). Dengan menonton Peep show Erika merasa lepas dari kekangan sang Ibu yang mengatur jalan hidupnya. Beban hidupnya terlupakan, hasrat seksnya terlampiaskan, fantasi seksnya menjadi liar.  
Kekerasan tidak terlalu banal. Tapi kekerasan yang lebih subtil mengakibatkan sakit jiwa tapi tidak menimbulakan luka fisik yang begitu tampak dari luar. Pengekangan kebebasan hidup Erika mengakibatkan perkembangan mental Erika terganggu sehingga ia mengalami kelainan seks. Dalam hubungan percintaanya dengan Klemer, mereka melakukan hubungan seks yang tidak lasim. Erika senang dengan kekerasan dalam melakukan hubungan seks “Erika menancapkan giginya pada mahkota sang burung. Mahkota itu tidak terlukai, tetapi pemilikya berteriak liar” (Jelinek, 2006:181). Selanjutnya dalam kutipan

…lelaki itu memasangkan belenggu dan belitan terhadap perempuan ini dengan seutuhnya, keras, ganas, teliti, hati-hati, kejam, menyakitkan, rapi, hingga ke jerat yang paling kecil dengan menggunakan tali yang telah aku kumpulkan serta sabuk kulit dan juga rantai! yang telah aku miliki. Lelaki itu harus menghujamkan lututnya ke perut perempuan ini, sekiranya tuan berkenan (Jelinek, 2006:219).

Ini menunjukan prilaku seks menyimpang Erika, yang merupakan dampak dari sikap sang Ibu yang selalu mengekang putrinya. Ibu Erika mempunyai mimpi-mimpi yang luar biasa. Namun hal tersebut tidak dibarengi dengan perhatian dan kasih sayang yang tulus dari sang Ibu. Malah sebaliknya, membuatnya lupa kalau Erika juga sebagai anak butuh perhatian dan kasih sayang sang Ibu yang tidak mengabaikan hak-hak hidup sebagai anak yang sedang tumbuh menikmati masa-masa keemasannya sebagai remaja. Sikap sang Ibu yang mengabaikan kebebasan hidup Erika turut berperan terhadap penyimpangan prilaku seks yang terjadi pada Erika.
Sejak Nayla berumur 2 tahun ayah dan ibunya bercerai. Kemudian, Nayla dibesarkan oleh ibu. Cara didikan ibu sangat keras dan kejam. Ibunya menginginkan Nayla menjadi pribadi yang kuat dan tidak manja, sehingga cara didikan Ibunya sangat keras dan kejam. “Tak hanya selangkangan Nayla yang ditusukinya. Tapi juga vaginanya. Nayla diam saja. Tak ada sakit terasa. Hanya nestapa” (Djenar, 2005:2). Ini merupakan bentuk kekerasan fisik yang dialami Nayla. Ibunya melakukan hal demikian agar Nayla tidak selalu ngompol ditempat tidur setiap malam, ibunya menganggap Nayla malas untuk bangun sehingga ia ngompol ditempat tidur. Didikan Ibu yang sangat sadis itu malah tidak merubah Nayla untuk menjadi anak rajin. Ibu Nayla menginginkan anaknya menjadi anak yang bertanggung jawab, namun hal tersebut dilakukan dengan cara kekerasan yang tidak mendidik bagi perkembangan mental Nayla “Saya dipukuli ketika menumpahkan sebutir nasi” (Djenar, 2005:112). Kekerasan yang dialami Nayla sangat mempengaruhi mentalnya. Ia menjadi pribadi yang liar, terlebih lagi ketika ia diperkosa oleh pacar Ibunya “Om Indra tidak hanya mengeluarkan ataupun menggesek-gesekan penisnya ke tengkuk saya. Ia memasukkan penisnya itu ke vagina saya” (Djenar, 2005:113). Kejadian-kejadian ini membuat Nayla takut dan mengalami guncangan jiwa ditambah lagi sejak kematian ayahnya, Nayla sedikit mengalami perubahan. Ia frustrasi dan kecewa, seperti membolos dan suka tertawa-tawa sendiri. Keganjilan ini diketahui oleh ibu tirinya. Kemudian, Nayla dituduh pengguna Narkoba.
Oh, benar itu Bu Ratu. Pengguna narkoba memang ciri-cirinya itu. Tidak ada keingingan sekolah karena konsentrasinya buyar. Dan tertawa-tawa itu bisa jadi dia memakai ganja…Ya, jadi bagaimana caranya supaya Nayla bisa ikut rehabilitasi di sini (Ayu, 2005:137).
Dengan akal licik ibu tirinya meminta izin kepada ibu kandungnya, Nayla dijebloskan ke rumah Perawatan Anak Nakal dan Narkotika. Tindakan Ibu tirinya tersebut yang menuduh Nayla sebagai pengguna narkoba merupakan tindakan yang keliru, sikap Nayla yang berubah, seperti tertawa-tawa sendiri merupakan dampak dari kekerasan fisik maupun mental yang diterima Nayla dari Ibunya.
Nayla merasa tak punya kasus. Ia bukan anak nakal. Bukan pula pengguna narkoba. Nayla panik. Tapi tak bisa berbuat apa-apa selain terpaksa hanyut dalam ritual yang dilakukan anak-anak perempuan lainnya (Ayu, 2005:13)
            Tinggal ditempat perawatan anak nakal dan narkotika membuat jiwa Nayla semakin merontak dan merasa tertekan. Sikap Nayla yang membolos sekolah dan sering tertawa-tawa merupakan akibat dari kurangnya perhatian dan kasih sayang dari Ibunya maupun Ibu tirinya. Nayla tak tahan tinggal ditempat perawatan, dengan usaha keras ia bisa kabur dari tempat itu bersama-sama dengan temannya. Nayla tidak pulang ke rumah ia numpang ke tempat temannya. Ia mulai belajar hidup mandiri. Ia mulai pekerjaan apa saja, seperti merampok dan mencuri. Hidup Nayla tidak tentu arah. Ia tidur di terminal. Ia melamar pekerjaan dan diterima sebagai penata lampu di sebuah nite club atau diskotek. Ia mulai belajar hidup mandiri. Menyewa rumah sendiri dan memenuhi keperluan sehari-hari. Di tempat itu (diskotek) ia mulai mengenal rokok dan minuman. Hidupnya semakin bebas, mulai dari cara berpakaian, berdan dan, dan bergaul.
Semua berjalan cepat. Kami bercinta dalam waktu singkat. Maka, dalam waktu sesingkat itu tak ada satu orang pun yang bisa memuaskan saya seperti Juli, tetapi memang bukan sekedar kepuasan kelamin yang saya cari. Saya butu kepuasan rohani (Ayu, 2003:101).
Kekerasan fisik maupu mental yang dialami Nayla membuat ia terjerumus kedalam kehidupan malam seperti melakukan seks bebas. Namun, sebenarnya bukan hal tersebut yang ia inginkan, ia ingin mendapatkan kepuasan rohani seperti rasa aman.

D.  Simpulan
Setelah melakukan analisis pada kedua novel Sang Guru Piano dan Nayla dapat disimpulkan bahwa dalam novel Sang guru piano kekerasan mental yang dialami oleh Erika Kohut berdampak pada prilaku seks menyimpang. Sedangkan pada novel Nayla kekerasan fisik dan mental terjadi pada Nayla yang berdampak pada kehidupan Nayla yang liar, terjerumus pada tindakan mencuri, merokok, minuman keras dan seks bebas. 
Dalam Sang Guru Piano, Jelinek berbicara sosok Ibu yang egois, dan melakukan kekerasan mental, yang mewujud pada pengungkungan kebebasan hidup Erika Kohut. Sedangkan, dalam Nayla, Djenar berbicara sosok Ibu yang keras, kasar dan kejam, yang mewujud pada penyiksaan fisik dan mental Nayla. Sosok Ibu dalam kedua novel tersebut sangat berperan terhadap pembentukan watak dan prilaku menyimpang anaknya.


Daftar Pustaka

Ayu, Djenar Maesa. 2006. Nayla. Jakarta: Gramdeia Pustaka Utama.

Depkumham. 2003. UU PKDRT. dalam. www.djpp.depkumham.go.id. 8 Juni 2011.

Hutomo, Suripan Sadi. 1993. Merambah Matahari: Sastra Dalam Perbandingan. Surabaya: Gaya Masa.

Jelinek, Elfriede. 2006. “Die Klaviersvierlin” Sang Guru Piano. Diterjemahkan oleh Arpani Harun. Jakarta: KPG (kepustakaan Populer Gramedia).

Mido, Frans. 1994. Cerita Rekaan dan Seluk Beluknya. Jakarta: Ikrar Mandiri Abadi.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1962. General Comparative and National Literature in Theory of Literature. New York: Harcourth Brace and World Inc.





Comments

Popular posts from this blog

PROBLEMATIKA MORFOLOGIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam morfologi, ada beberapa problema yang dihadapi, seperti halnya dibawah ini : Problematika Akibat Unsur Serapan Problematika Akibat Kontaminasi Problematika Akibat Analogi Problema Akibat Perlakuan Kluster Problema Akibat Proses Morfologis Unsur Serapan Problema Akibat Perlakuan Bentuk Majemuk Peristiwa Morfofonemik Problem Proses Reduplikasi Problema Proses Abreviasi Problema Fungsi Dramatis dan Fungsi Semantis 1.2 Identifikasi Jelaskan pengertian dari masing – masing problematika yang telah tersebutkan diatas ? Jelaskan contoh – contoh yang telah ada tersebut ? BAB II PEMBAHASAN 2.1 Problematika Akibat Kontaminasi Kontaminasi merupakan gejala bahasa yang menga-caukan konstruksi kebahasaan. Kontaminasi dalam konstruksi kata, misalnya : Diperlebarkan , merupakan hasil pemaduan konstruksi diperlebar dan dilebarkan yang masing masing berarti 'dibuat jadi lebih besar lagi' dan 'dibuat jadi lebar'. Oleh sebab itu, konstruks

TEORI STRUKTURALISME GENETIK

Oleh : Ferliana Ishadi Penganalisisan Puisi Menggunakan Teori Strukturalisme Genetik (Tahap Pembelajaran) KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah swt, karena berkat rahmat dan hidayahnya saya dapat menyelesaikan pembuatan tugas mata kuliah Teori Sastra yang merupakan salah satu mata kuliah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Makalah ini disusun berdasarkan kemampuan penyusun untuk menyelesaikan penugasan ini, sesuai dengan literatur – literatur yang saya peroleh untuk “Analisis Antologi Puisi Lumpur” karya Ratih Sanggarwaty. Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah membimbing mahasiswan – mahasiswanya, sehingga tugas ini dapat terselesaikan. Demikian makalah ini disusun, mudah-mudahan bermanfaat untuk seluruh mahasiswa STKIP PGRI Bangkalan khususnya Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Dan selaku penyusun dari makalah ini senantiasa mengharapkan kritik dan saran dari dosen dan rekan-rekan mahasiswa

RADEN SAGARA (ASAL USUL PULAU MADURA)

Pada jaman dahulu, Madura merupakan pulau yang terpecah belah. Yang tampak pada waktu itu adalah gunung Pajuddan dan gunung Gegger di daerah Bangkalan, tempat kelahiran Raden Sagarah. Pada saat itu pula di tanah jawa tepatnya di daerah muara sungai Brantas di Jawa Timur ada sebuah kerajaan bernama “MEDANG KEMULAN”. Kerajaan Medang  Kemulan sangat aman, tentram, dan damai. Semua warganya melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan bidangnya masing-masing. Ca’ epon reng Madura “ lakona lakone kennengga kennengge”, demikian prinsip mereka. Rajanya bernama “Sang Hyang Tunggal” adalah seorang raja yang