Skip to main content

RESENSI


Judul buku    : Centhini 3 ; Malam Ketika Hujan
Penulis            : Gangsar R. Hayuaji
Editor             : Abdul Azis Sukarno
Cetakan          : Pertama, April 2011
Penerbit          : DIVA Press
Tempat terbit : Yogyakarta
Harga             : Rp 55.000,00

PENGEMBARAAN SPIRITUAL CEBOLANG

Setelah diterbitkan Centhini; 40 Hari Mengintip Malam Pengantin karya Sunardian Wirodono dan Centhini 2; Perjalanan Cinta karya Gangsar R. Hayuaji, kini kembali terbit Centhini 3; Malam Ketika Hujan dengan penulis yang sama pada novel Centhini 2. Buku berbeda, pengarang yang berbeda, namun dengan bangunan ruh yang sama: unsur kejawaan yang sangat kental.
Centhini 3 ditulis atas permintaaan Abdul Aziz Sukarno.
Berbeda dengan Centhini 2, yang mengisahlan perjalanan panjang Amongraga, dalam Centhini 3 mengisahkan pengembaraan Cebolang yang mendominasi karya R. Ngabehi Ranggasutrasna, R. Ngabehi Yasadipura II, R. Ngabehi Sastradipura, Pangeran Jungut Manduraja dan Kyai Mohammad.
Centhini 3; Malam Ketika Hujan merupakan kisah Cebolang dalam upaya mencari makna dan kesejatian kehidupan, mulai dari Desa Sokayasa dan berujung di Goa Sigala. Dari halaman pertama, pembaca akan membuktikan sendiri bahwa Centhini 3 memaparkan seksualitas orang Jawa hampir secara gamblang. Perhatikan kutipan berikut:
                               
“Daratan sudah tampak di depan mata, sayang.
 Bukakan lebar-lebar lubang bumimu!
 Akan aku tuang air Cupu Manik Astagina dari pusar langit
Sebagaimana hujan yang tumpah tiba-tiba di luar.”

Kalimat indah namun memiliki makna seksualitas ini menghias sampul buku Centhini 3; Malam Ketika Hujan. Dari sepintas membaca saja, pembaca dewasa akan langsung paham simbol kalimat yang menggambarkan proses  hubungan seksual itu. Tidak hanya dalam sampul depan, namun sepanjang buku ini aspek-aspek pelampiasan syahwati dua manusia  berbeda jenis kelamin di atas ranjang dipaparkan begitu bersemangat. Beragam kegiatan seksualitas sangat gamblang dipamerkan hampir dalam setiap halaman pada novel ini. Sebab buku yang menceritakan petualangan Cebolang membawa pembaca pada pengetahuan yang sangat luas, tidak hanya persoalan filosofis, melainkan juga masalah seksualitas dan keduniawian. Namun, hal ini tidak menjadikan Centhini 3 sebagai buku cerita porno rendahan, karena di sela-sela cerita juga dilampirkan beragam pengetahuan dan nasihat agama yang didapatkan oleh Cebolang dari para kyai dan orang dihormati di sepanjang perjalanannya.
Inti dari cerita Centhini 3: Malam Ketika Hujan adalah kisah Cebolang yang telah menemukan jodohnya dengan adik Syekh Amongraga, Niken Rancangkapti  yang terseret dalam kenangan masa silamnya. Masa pengembaraannya bersama Kartipala, Palakarti, Saloka dan Nurwiti, pengembaraan yang diawali dari Padepokan Sokayasa yang berakhir di Goa Sigala di Gunung Semeru. Di akhir perjalanannya, Cebolang mampu melewati kenangan masa silamnya yang menghambat pengembaraan spiritualnya.
Satu hal lagi yang menarik dalam buku ini. Jika pembaca menyimak dengan baik, maka keseluruhan judul setiap bagian novel ini selalu diawali dengan kata suluk yang memiliki makna memperbaiki akhlak, menyucikan amal, dan menjernihkan pengetahuan yang merupakan tujuan pengembaraan Cebolang.
Namun sangat disayangkan, keasyikan membaca novel unik ini agak sedikit terganggu dengan sisipan terjemahan asli Serat Centhini yang hanya disematkan sebagai catatan kaki. Formatnya yang kecil, dengan spasi yang terlalu rapat dan penataan yang “dipadatkan” membuat bagian terjemahan ini susah untuk dibaca. Terlebih lagi ada bagian terjemahan versi catatan kaki yang hampir memenuhi seluruh bagian halaman. Seperti pada halaman 24—26, halaman176—178 dan 275-277, yang merupakan hasil terjemahan tembang Jawa.
Terlepas dari persoalan teknis tersebut, novel ini merupakan media yang cukup menyenangkan untuk menguak kembali kekayaan dan falsafah kebudayaan Jawa. Melalui kisah Centhini, pembaca bisa memandang nilai-nilai Jawa yang berat itu secara lebih manusiawi, lebih simpel tanpa harus menghilangkan keagungan dari karya masterpiece ini.(d_penaratih)


Comments

Popular posts from this blog

PROBLEMATIKA MORFOLOGIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam morfologi, ada beberapa problema yang dihadapi, seperti halnya dibawah ini : Problematika Akibat Unsur Serapan Problematika Akibat Kontaminasi Problematika Akibat Analogi Problema Akibat Perlakuan Kluster Problema Akibat Proses Morfologis Unsur Serapan Problema Akibat Perlakuan Bentuk Majemuk Peristiwa Morfofonemik Problem Proses Reduplikasi Problema Proses Abreviasi Problema Fungsi Dramatis dan Fungsi Semantis 1.2 Identifikasi Jelaskan pengertian dari masing – masing problematika yang telah tersebutkan diatas ? Jelaskan contoh – contoh yang telah ada tersebut ? BAB II PEMBAHASAN 2.1 Problematika Akibat Kontaminasi Kontaminasi merupakan gejala bahasa yang menga-caukan konstruksi kebahasaan. Kontaminasi dalam konstruksi kata, misalnya : Diperlebarkan , merupakan hasil pemaduan konstruksi diperlebar dan dilebarkan yang masing masing berarti 'dibuat jadi lebih besar lagi' dan 'dibuat jadi lebar'. Oleh sebab itu, konstruks

TEORI STRUKTURALISME GENETIK

Oleh : Ferliana Ishadi Penganalisisan Puisi Menggunakan Teori Strukturalisme Genetik (Tahap Pembelajaran) KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah swt, karena berkat rahmat dan hidayahnya saya dapat menyelesaikan pembuatan tugas mata kuliah Teori Sastra yang merupakan salah satu mata kuliah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Makalah ini disusun berdasarkan kemampuan penyusun untuk menyelesaikan penugasan ini, sesuai dengan literatur – literatur yang saya peroleh untuk “Analisis Antologi Puisi Lumpur” karya Ratih Sanggarwaty. Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah membimbing mahasiswan – mahasiswanya, sehingga tugas ini dapat terselesaikan. Demikian makalah ini disusun, mudah-mudahan bermanfaat untuk seluruh mahasiswa STKIP PGRI Bangkalan khususnya Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Dan selaku penyusun dari makalah ini senantiasa mengharapkan kritik dan saran dari dosen dan rekan-rekan mahasiswa

RADEN SAGARA (ASAL USUL PULAU MADURA)

Pada jaman dahulu, Madura merupakan pulau yang terpecah belah. Yang tampak pada waktu itu adalah gunung Pajuddan dan gunung Gegger di daerah Bangkalan, tempat kelahiran Raden Sagarah. Pada saat itu pula di tanah jawa tepatnya di daerah muara sungai Brantas di Jawa Timur ada sebuah kerajaan bernama “MEDANG KEMULAN”. Kerajaan Medang  Kemulan sangat aman, tentram, dan damai. Semua warganya melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan bidangnya masing-masing. Ca’ epon reng Madura “ lakona lakone kennengga kennengge”, demikian prinsip mereka. Rajanya bernama “Sang Hyang Tunggal” adalah seorang raja yang