DEHAM PAK DIREKTUR
Muhri, M.A.
Direktur baru kami sungguh mengejutkan. Meskipun lumayan ganteng dan masih muda, wajahnya terlalu tegang untuk dikatakan menarik dan, yang paling penting, membuat khawatir bawahan yang kebetulan dekat atau berpapasan dengannya. Selera humor? Jangan tanya. Senyum pun tidak. Sebenarnya yang membuat takut adalah sikapnya yang tidak banyak bicara. Ia hanya bicara seperlunya. Itu pun singkat dan padat. Langsung pada intinya. Ia hanya mendeham setiap ada kesalahan yang dilakukan bawa
hanya. Kontan saja, semua bawahannya, mulai pegawai yang berdasi dan berjas mahal sampai tukang sapu dan tukang kebun, takut mendapat dehamannya. Dehaman itu bagi mereka berarti bencana besar akan datang.Dilihat dari penampilan, Pak Direktur kami ini lumayan acak-acakan. Ya, kira-kira seukuran orang baru kalah main judi. Penampilannya kacau. Pakaian mahalnya tidak menambah kerapiannya. Baju tidak disetrika, sepatu penuh debu seperti jarang disemir, dan yang paling jelas adalah rambut kusut dan kantung matanya yang melingkar di seluruh kelopak matanya, menghitam seperti lingkaran cincin dari besi hitam. Akan tetapi, mata itu mencorong tajam penuh daya hidup dan kegarangan.
Untuk ukuran seorang direktur sebuah perusahaan besar, gaya hidupnya sederhana. Bahkan, terlalu sederhana. Mobilnya hanya sebuah mobil van yang harganya sangat terjangkau untuk pengusaha kelas menengah sekali pun. Itu pun model lama. Kata sekretarisnya, rumahnya pun hanya di kawasan perumahan kelas menengah dan tak terlalu mewah. Singkatnya, semuanya serba sederhana untuk ukuran penghasilannya. Tidak jelas apa yang menyebabkan ia demikian. Ia benar-benar tertutup dan menjelma bagai misteri, misteri yang menakutkan.
Sejak kedatangannya, perusahaan ini menjadi benar-benar berubah. Total. Seratus persen. Semua jadi serius. Bergurau dalam waktu kerja jarang sekali terdengar. Sebab, itu suatu kesalahan berat dan akibatnya pasti sangat tidak diinginkan pekerja. Pemecatan. Bolos? Jangan tanya. Orang itu pasti sudah bosan kerja. Terlambat beberapa menit saja sudah peringatan terakhir. Pegawai-pegawai kelas atas pun mulai resah. “Kalau terus-terusan begini, hancurlah kita. Posisi kita selalu terancam,” kata seorang kepala bagian.
“Mau bagaimana lagi. Dia pemegang saham terbesar perusahaan ini. Hampir 80 %.” Temannya menanggapi. Ia menggerutu. “Kemana harus mengadu kalau semua veto miliknya? Dia itu ibarat raja di sini. Kata-katanya adalah hukum yang harus ditaati tanpa membantah.” Kemurungan menghiasi wajah-wajah mereka. “Dan buruknya, ia selalu tahu kelemahan kita sehingga kita tak bisa melawan. Kita harus cari cara untuk mengatasi hal ini. Harus. Kalau tidak kita akan tersingkir.”
Semua yang tergabung dalam konspirasi tersebut mulai larut dalam pemikiran. Ide-ide mulai muncul dan muncul, bermacam-macam ide. Tanggapan-tanggapan mengiringi semua ide. Tapi tak ada yang memuaskan. Intinya semua mentah dan terlalu beresiko. Jalan buntu. Rapat tidak resmi ini diam, sepi, lengang, dan berkecamuk. Sepertinya sudah tidak ada jalan keluar untuk sementara ini.
Namun, seorang pimpinan tiba-tiba tersenyum. Ia berubah jadi sangat ceria. Ada ide, rupanya. “Sejujur-jujurnya dan sekuat-kuatnya dia, pasti ada kelemahannya, bukan?” katanya. Ia mulai menyampaikan idenya dengan sesekali mendapat tanggapan dari rekannya yang lain. Ide itu kemudian diasah dengan perbaikan-perbaikan dan pembenahan-pembenahan. Akhirnya mereka rumuskan dengan mantap menjadi sebuah rencana, rencana yang sangat meyakinkan. Mereka memperalat seorang sekretaris yang cantik untuk mendekatinya. Pasti berhasil. Batin mereka. Anak muda mana yang tidak tertarik pada gadis cantik? Apa lagi belum menikah. Dan memang benar. Ia memang belum menikah. Ia juga masih sangat muda untuk jabatan yang ia pegang saat ini. Dua puluh sembilan tahun lebih sedikit. Sangat muda meski untuk ukuran eksekutif muda. Dan masih lumrah juga jika belum menikah.
Rencana itu sudah dipersiapkan matang-matang sehingga seperti kebetulan terjadi saja. Sangat alamiah dan hampir tidak ada jejak skenario di dalamnya. Semua harus mulus dan lancar. Tak boleh ada indikasi sekecil apapun. Tapi, yang terjadi sungguh di luar dugaan. Hasilnya begitu bertolak belakang dengan yang diharapkan. Rencana itu tercium oleh sang direktur dan terbongkar. “Siapa yang menyuruhmu?” kata Pak Direktur dingin. Ia tidak bicara lagi. Wajahnya keruh dan dingin. Ia hanya menunggu tanggapan dari sang sekretaris yang langsung gemetar. Wajahnya langsung pucat bagai mayat. Keringat dingin mengucur dari tubuhnya. Air matanya tak lagi bisa ditahan. Ia terisak tanpa suara. Tapi, sang direktur tetap bergeming. Wajahnya tak menyiratkan emosi apa pun menyaksikan tangisan itu.
Karena sang sekretaris tak menjawab, akhirnya ia bicara. “Baik, kau boleh pilih. Kau tidak bicara dan kupecat atau kau beritahu dengan konsekuensi lebih ringan.” sang sekretaris tidak bisa berkata sepatah kata pun. Ia masih terisak.
Pak Direktur diam. Wajahnya tetap dingin. Ia biarkan sang sekretaris menyelesaikan tangisnya. Kemudian ia menanyakan kembali jawaban sang sekretaris. Sang Sekretaris dengan terbata-bata memilih yang kedua. Wajah keruh sang direktur berangsur-angsur cerah, meski cerah untuk ukuran sang direktur beda dengan orang kebanyakan.
Sekretaris itu mulai menyebutkan siapa-siapa yang terlibat dalam persekongkolan itu. Tak satu pun ia lewatkan. Kemudian ia menceritakan skenario yang telah disusun oleh komplotan tersebut dari awal sampai akhir. Dan,…. Hal besar terjadi di perusahaan itu. Beberapa minggu kemudian ada beberapa kepala bagian mengundurkan diri secara bersamaan. Hanya kalangan atas yang tahu mengapa. Bahkan, bisa dikatakan hanya sang direktur saja yang tahu. Dan yang paling penting, setelah 15 tahun aku mengabdi di perusahaan ini tanpa promosi, aku di promosikan sebagai pengganti sekretaris lama yang dipindah tugaskan ke anak perusahaan yang dipimpin oleh Pak Direktur. Aku terheran-heran. Apa motifnya? Padahal, aku sudah ikhlas hati menerima jabatanku saat ini. Aku sadar bahwa tak mungkin dapat promosi tanpa koneksi.
Seiring berlalunya waktu dehaman itu mulai menghantui semua pegawai kantor kami. Bagaimana tidak? Setiap pegawai yang dalam satu bulan mendapat tiga dehaman pasti akan berakhir pada pemecatan keesokan hari setelah dehaman terakhir. Sehingga yang sudah mendapat dua kali dehaman akan sangat hati – hati untuk tidak mendapat yang ketiga. Yang baru mendapat dehaman sekali tidak ingin mendapat dehaman yang kedua apa lagi ketiga. Dan yang belum pernah akan mempertahankan untuk tidak mendapatkannya.
Lama – lama dehaman itu mulai jarang karena semua bawahan sang direktur semakin hati – hati dalam bekerja. Tentu saja, bukan hanya ini saja penyebabnya. Kehati – hatian untuk tidak mendapat dehaman ini juga penting untuk karir mereka sebab semakin jarang seorang mendapat dehaman semakin tinggi posisinya. Semakin banyak dehaman yang diperoleh semakin rendah posisinya. Dengan demikian, dalam perusahaan kami jabatan seseorang bisa diukur dari dehaman yang ia peroleh. Semakin banyak dehaman yang ia peroleh, posisinya akan semakin turun. Seperti Pak Supatih yang waktu itu menjadi wakil direktur harus turun menjadi direktur pemasaran hanya karena ia mendapat lebih banyak dehaman saat konsentrasinya menurun karena istrinya dirawat di rumah sakit.
Dari waktu ke waktu perusahaan itu makin berkembang. Pegawai yang kurang kompeten mulai tergeser. Yang tidak sesuai dengan keterampilan dipindah pada tempat yang sesuai. Perekrutan pegawai baru benar-benar diperhatikan oleh sang direktur. Bahkan ia turun langsung mewawancara. Bagian personalia tidak berani macam-macam. Berani curang berarti akan ada pegawai baru diangkat. Dan itu untuk menggantikan dirinya. Pesan sang direktur harus benar-benar diperhatikan.
Pegawai perusahaan ini berubah dengan wajah-wajah baru. Separuh pegawai lama menguap menjadi wajah yang lain. Banyak wajah-wajah muda mengisi kursi-kursi jabatan yang cukup tinggi. Wajah-wajah tua kebanyakan ada pada bagian pengambil kebijakan atau bagian paling bawah, yaitu mereka yang tidak cukup punya kompetensi untuk menaikkan posisi.
Dan yang aneh, di antara wajah-wajah muda itu ada wajah baru. Wajah yang berangsur-angsur cerah. Wajah yang memancarkan sinar mencorong pada matanya yang lelah. Wajah sang direktur. Penampilannya mulai berubah. Ia mulai rapi dan cerah. Pakaiannya rapi, sepatu mengkilat, dan rambut tersisir rapi.
Akhirnya, dehaman itu tidak muncul lagi karena semua sudah pandai menghindari dehaman. Semua pekerjaan selesai sebelum tenggat waktu. Tak ada yang terbengkalai. Hasil kerjanya pun juga memuaskan. Karena efektifnya dehaman Pak Direktur semua pekerjaan karyawan selesai dengan baik. Perusahaan pun maju sangat signifikan.
Suatu hari Pak Direktur memanggilku, sekertarisnya. Seperti biasa aku duduk menunggu instruksi. Seperti biasa juga, selalu pak direktur yang memulai pembicaraan. Kali ini beliau membuatku menunggu lebih lama. Tak seperti biasanya. Keheningan mulai terasa, membuat penantianku terasa panjang. Pak direktur tidak juga bicara. Aku makin tersiksa oleh tanda tanya yang tak juga terjawab.
Akhirnya Pak direktur berdiri dan mondar-mandir. Aku makin gelisah. Pasti ada masalah serius. Tapi, apa? Di antara pandangan takutku yang sekali-kali terarah padanya aku tahu ia juga gelisah. Dalam mondar-mandirnya sesekali ia menuju jendela dan memandang jauh keluar. Seperti ada yang ia cari di sana. Tapi tak lama kemudian ia kembali ke kursinya. Duduk dengan ragu-ragu dan kemudian berdiri mondar-mandir kembali. Lama sekali. Aku makin gelisah dan makin gelisah. Ia duduk lagi dengan ragu-ragu.
“Ehm, ehm….” Seketika aku gemetar. Kakiku seolah tak memijak bumi. Hampir-hampir aku roboh, pingsan. Keringat dingin mengucur di seluruh tubuhku. Kulitku seperti mati rasa. Bahkan disayat pun mungkin tak akan terasa. Apa salahku? Aku membatin. Waktu itu aku sudah siap disalahkan. Aku tunggu-tunggu kemarahan Pak Direktur dan aku mulai membayangkan apa yang akan menjadi nasibku kemudian. Hancurlah hidupku. Dan, …. “Maaf, tenggorokan saya sakit.” Ia kembali duduk.
Aku lega. Tapi, hanya sebentar. Aku lagi-lagi harus menunggu apa yang ingin ia katakan. Wajahnya kembali gelisah. “Em…. Saya cuma ingin tahu bagaimana menurutmu cara saya memimipin….?” Tak berlanjut. Ia agak ragu-ragu, agak gugup.
“Baik Pak.” Jawabku singkat.
“Jangan takut. Bicaralah sejujurnya.”
“Baik, Pak. Maksud saya bapak memimpin dengan baik. Mmm... Bapak bisa menaikkan citra perusahaan ini menjadi perusahaan yang terkemuka. Akan tetapi, kebaikan tidak pasti diterima dengan baik, kan Pak?” Kataku sedikit lebih memberanikan diri.
“Jadi, selama ini saya tidak disukai bawahan? Tegasnya, dibenci?” ia bertanya lebih halus dari biasanya. Tapi, tetap saja kaku dan terkesan memojokkan.
“Bu... bukan begitu maksud saya, Pak. Menurut saya tidak ada orang yang bisa disukai semua orang. Selera orang kan berbeda, Pak?”
“Kau pandai mengatur pembicaraan. Kau bisa menusuk orang tanpa merasa sakit. Tak salah aku memilihmu.” Ia terdiam. Sejurus kemudian ada keresahan timbul pada wajahnya. Tampan. Rupanya ini wajah sebenarnya.
“Mmm…. Tri, ada yang ingin kutanyakan padamu.” Kembali ia terdiam. “Sebenarnya sudah lama aku… ingin menyatakan bahwa… aku … suka padamu.”
Aku terkejut. Apa aku tidak salah dengar. Suka? “Maksud..., Bapak?”
“Maksud saya, saya suka padamu seperti laki-laki menyukai perempuan.” Kali ini ia berbicara dengan lancar. Tak ada beban. “Kau mengerti, kan, maksud saya?”
Ya, aku memang mengerti, tapi toh aku belum yakin ini nyata. Aku seperti masuk dunia mimpi saat mataku terbuka lebar. Kalau pun benar, apa aku berani menerimanya? Berpikir untuk mengaguminya saja aku tidak berani.
“Jawablah sekarang. Hari ini juga. Maukah kau menikah denganku?” begitu tiba-tiba. Aku terdiam. Bingung. Jujur saja aku memang kagum. Tapi menikah? Aku ragu. Aku yakin aku ragu. Dan menikah?
“Begini saja aku ingin meminta jawabanmu setelah makan siang. Kapan kau siap datanglah padaku.” Aku keluar dengan gelisah, bingung, bahagia, senyum, kacau. Jam istirahat begitu panjang sampainya.
Jam istirahat selesai. Aku dalam sedikit keraguan dan kebingungan. Tapi aneh. Sejak Pak Direktur menyampaikan perasaannya ada perasaan gembira yang entah mengapa? Dengan pertimbangan yang sangat mentah aku harus memutuskan.
Aku mengetuk pintu ruangan Pak Direktur. “Silahkan duduk.” Aku duduk dengan hati-hati. Aku selalu ragu untuk memulai apa yang akan kukatakan. “Bicaralah. Jangan takut apa pun keputusanmu tidak akan mempengaruhi posisimu.”
Aku kumpulkan keberanian. Memupuk keberanian meski untuk memulai. “Setelah saya pikir saya menerima lamaran Bapak.” Ia tersenyum.
“Baiklah. Aku senang sekali. Mulai besok kamu saya berhentikan.” Aku terkejut. Tak bisa kusembunyikan keterkejutanku. Keringat dingin merembes dari pori-poriku. Apakah ini jebakan? Mengapa aku mudah terpancing?
“Oh…. Maaf saya salah pilih kata. Maksud saya setelah kamu bersedia berarti kau calon istriku. Jadi kamu tidak usah bekerja lagi.”
DEHAM PAK DIREKTUR
Direktur baru kami sungguh mengejutkan. Meskipun lumayan ganteng dan masih muda, wajahnya terlalu tegang untuk dikatakan menarik dan, yang paling penting, membuat khawatir bawahan yang kebetulan dekat atau berpapasan dengannya. Selera humor? Jangan tanya. Senyum pun tidak. Sebenarnya yang membuat takut adalah sikapnya yang tidak banyak bicara. Ia hanya bicara seperlunya. Itu pun singkat dan padat. Langsung pada intinya. Ia hanya mendeham setiap ada kesalahan yang dilakukan bawahanya. Kontan saja, semua bawahannya, mulai pegawai yang berdasi dan berjas mahal sampai tukang sapu dan tukang kebun, takut mendapat dehamannya. Dehaman itu bagi mereka berarti bencana besar akan datang.
Dilihat dari penampilan, Pak Direktur kami ini lumayan acak-acakan. Ya, kira-kira seukuran orang baru kalah main judi. Penampilannya kacau. Pakaian mahalnya tidak menambah kerapiannya. Baju tidak disetrika, sepatu penuh debu seperti jarang disemir, dan yang paling jelas adalah rambut kusut dan kantung matanya yang melingkar di seluruh kelopak matanya, menghitam seperti lingkaran cincin dari besi hitam. Akan tetapi, mata itu mencorong tajam penuh daya hidup dan kegarangan.
Untuk ukuran seorang direktur sebuah perusahaan besar, gaya hidupnya sederhana. Bahkan, terlalu sederhana. Mobilnya hanya sebuah mobil van yang harganya sangat terjangkau untuk pengusaha kelas menengah sekali pun. Itu pun model lama. Kata sekretarisnya, rumahnya pun hanya di kawasan perumahan kelas menengah dan tak terlalu mewah. Singkatnya, semuanya serba sederhana untuk ukuran penghasilannya. Tidak jelas apa yang menyebabkan ia demikian. Ia benar-benar tertutup dan menjelma bagai misteri, misteri yang menakutkan.
Sejak kedatangannya, perusahaan ini menjadi benar-benar berubah. Total. Seratus persen. Semua jadi serius. Bergurau dalam waktu kerja jarang sekali terdengar. Sebab, itu suatu kesalahan berat dan akibatnya pasti sangat tidak diinginkan pekerja. Pemecatan. Bolos? Jangan tanya. Orang itu pasti sudah bosan kerja. Terlambat beberapa menit saja sudah peringatan terakhir. Pegawai-pegawai kelas atas pun mulai resah. “Kalau terus-terusan begini, hancurlah kita. Posisi kita selalu terancam,” kata seorang kepala bagian.
“Mau bagaimana lagi. Dia pemegang saham terbesar perusahaan ini. Hampir 80 %.” Temannya menanggapi. Ia menggerutu. “Kemana harus mengadu kalau semua veto miliknya? Dia itu ibarat raja di sini. Kata-katanya adalah hukum yang harus ditaati tanpa membantah.” Kemurungan menghiasi wajah-wajah mereka. “Dan buruknya, ia selalu tahu kelemahan kita sehingga kita tak bisa melawan. Kita harus cari cara untuk mengatasi hal ini. Harus. Kalau tidak kita akan tersingkir.”
Semua yang tergabung dalam konspirasi tersebut mulai larut dalam pemikiran. Ide-ide mulai muncul dan muncul, bermacam-macam ide. Tanggapan-tanggapan mengiringi semua ide. Tapi tak ada yang memuaskan. Intinya semua mentah dan terlalu beresiko. Jalan buntu. Rapat tidak resmi ini diam, sepi, lengang, dan berkecamuk. Sepertinya sudah tidak ada jalan keluar untuk sementara ini.
Namun, seorang pimpinan tiba-tiba tersenyum. Ia berubah jadi sangat ceria. Ada ide, rupanya. “Sejujur-jujurnya dan sekuat-kuatnya dia, pasti ada kelemahannya, bukan?” katanya. Ia mulai menyampaikan idenya dengan sesekali mendapat tanggapan dari rekannya yang lain. Ide itu kemudian diasah dengan perbaikan-perbaikan dan pembenahan-pembenahan. Akhirnya mereka rumuskan dengan mantap menjadi sebuah rencana, rencana yang sangat meyakinkan. Mereka memperalat seorang sekretaris yang cantik untuk mendekatinya. Pasti berhasil. Batin mereka. Anak muda mana yang tidak tertarik pada gadis cantik? Apa lagi belum menikah. Dan memang benar. Ia memang belum menikah. Ia juga masih sangat muda untuk jabatan yang ia pegang saat ini. Dua puluh sembilan tahun lebih sedikit. Sangat muda meski untuk ukuran eksekutif muda. Dan masih lumrah juga jika belum menikah.
Rencana itu sudah dipersiapkan matang-matang sehingga seperti kebetulan terjadi saja. Sangat alamiah dan hampir tidak ada jejak skenario di dalamnya. Semua harus mulus dan lancar. Tak boleh ada indikasi sekecil apapun. Tapi, yang terjadi sungguh di luar dugaan. Hasilnya begitu bertolak belakang dengan yang diharapkan. Rencana itu tercium oleh sang direktur dan terbongkar. “Siapa yang menyuruhmu?” kata Pak Direktur dingin. Ia tidak bicara lagi. Wajahnya keruh dan dingin. Ia hanya menunggu tanggapan dari sang sekretaris yang langsung gemetar. Wajahnya langsung pucat bagai mayat. Keringat dingin mengucur dari tubuhnya. Air matanya tak lagi bisa ditahan. Ia terisak tanpa suara. Tapi, sang direktur tetap bergeming. Wajahnya tak menyiratkan emosi apa pun menyaksikan tangisan itu.
Karena sang sekretaris tak menjawab, akhirnya ia bicara. “Baik, kau boleh pilih. Kau tidak bicara dan kupecat atau kau beritahu dengan konsekuensi lebih ringan.” sang sekretaris tidak bisa berkata sepatah kata pun. Ia masih terisak.
Pak Direktur diam. Wajahnya tetap dingin. Ia biarkan sang sekretaris menyelesaikan tangisnya. Kemudian ia menanyakan kembali jawaban sang sekretaris. Sang Sekretaris dengan terbata-bata memilih yang kedua. Wajah keruh sang direktur berangsur-angsur cerah, meski cerah untuk ukuran sang direktur beda dengan orang kebanyakan.
Sekretaris itu mulai menyebutkan siapa-siapa yang terlibat dalam persekongkolan itu. Tak satu pun ia lewatkan. Kemudian ia menceritakan skenario yang telah disusun oleh komplotan tersebut dari awal sampai akhir. Dan,…. Hal besar terjadi di perusahaan itu. Beberapa minggu kemudian ada beberapa kepala bagian mengundurkan diri secara bersamaan. Hanya kalangan atas yang tahu mengapa. Bahkan, bisa dikatakan hanya sang direktur saja yang tahu. Dan yang paling penting, setelah 15 tahun aku mengabdi di perusahaan ini tanpa promosi, aku di promosikan sebagai pengganti sekretaris lama yang dipindah tugaskan ke anak perusahaan yang dipimpin oleh Pak Direktur. Aku terheran-heran. Apa motifnya? Padahal, aku sudah ikhlas hati menerima jabatanku saat ini. Aku sadar bahwa tak mungkin dapat promosi tanpa koneksi.
Seiring berlalunya waktu dehaman itu mulai menghantui semua pegawai kantor kami. Bagaimana tidak? Setiap pegawai yang dalam satu bulan mendapat tiga dehaman pasti akan berakhir pada pemecatan keesokan hari setelah dehaman terakhir. Sehingga yang sudah mendapat dua kali dehaman akan sangat hati – hati untuk tidak mendapat yang ketiga. Yang baru mendapat dehaman sekali tidak ingin mendapat dehaman yang kedua apa lagi ketiga. Dan yang belum pernah akan mempertahankan untuk tidak mendapatkannya.
Lama – lama dehaman itu mulai jarang karena semua bawahan sang direktur semakin hati – hati dalam bekerja. Tentu saja, bukan hanya ini saja penyebabnya. Kehati – hatian untuk tidak mendapat dehaman ini juga penting untuk karir mereka sebab semakin jarang seorang mendapat dehaman semakin tinggi posisinya. Semakin banyak dehaman yang diperoleh semakin rendah posisinya. Dengan demikian, dalam perusahaan kami jabatan seseorang bisa diukur dari dehaman yang ia peroleh. Semakin banyak dehaman yang ia peroleh, posisinya akan semakin turun. Seperti Pak Supatih yang waktu itu menjadi wakil direktur harus turun menjadi direktur pemasaran hanya karena ia mendapat lebih banyak dehaman saat konsentrasinya menurun karena istrinya dirawat di rumah sakit.
Dari waktu ke waktu perusahaan itu makin berkembang. Pegawai yang kurang kompeten mulai tergeser. Yang tidak sesuai dengan keterampilan dipindah pada tempat yang sesuai. Perekrutan pegawai baru benar-benar diperhatikan oleh sang direktur. Bahkan ia turun langsung mewawancara. Bagian personalia tidak berani macam-macam. Berani curang berarti akan ada pegawai baru diangkat. Dan itu untuk menggantikan dirinya. Pesan sang direktur harus benar-benar diperhatikan.
Pegawai perusahaan ini berubah dengan wajah-wajah baru. Separuh pegawai lama menguap menjadi wajah yang lain. Banyak wajah-wajah muda mengisi kursi-kursi jabatan yang cukup tinggi. Wajah-wajah tua kebanyakan ada pada bagian pengambil kebijakan atau bagian paling bawah, yaitu mereka yang tidak cukup punya kompetensi untuk menaikkan posisi.
Dan yang aneh, di antara wajah-wajah muda itu ada wajah baru. Wajah yang berangsur-angsur cerah. Wajah yang memancarkan sinar mencorong pada matanya yang lelah. Wajah sang direktur. Penampilannya mulai berubah. Ia mulai rapi dan cerah. Pakaiannya rapi, sepatu mengkilat, dan rambut tersisir rapi.
Akhirnya, dehaman itu tidak muncul lagi karena semua sudah pandai menghindari dehaman. Semua pekerjaan selesai sebelum tenggat waktu. Tak ada yang terbengkalai. Hasil kerjanya pun juga memuaskan. Karena efektifnya dehaman Pak Direktur semua pekerjaan karyawan selesai dengan baik. Perusahaan pun maju sangat signifikan.
Suatu hari Pak Direktur memanggilku, sekertarisnya. Seperti biasa aku duduk menunggu instruksi. Seperti biasa juga, selalu pak direktur yang memulai pembicaraan. Kali ini beliau membuatku menunggu lebih lama. Tak seperti biasanya. Keheningan mulai terasa, membuat penantianku terasa panjang. Pak direktur tidak juga bicara. Aku makin tersiksa oleh tanda tanya yang tak juga terjawab.
Akhirnya Pak direktur berdiri dan mondar-mandir. Aku makin gelisah. Pasti ada masalah serius. Tapi, apa? Di antara pandangan takutku yang sekali-kali terarah padanya aku tahu ia juga gelisah. Dalam mondar-mandirnya sesekali ia menuju jendela dan memandang jauh keluar. Seperti ada yang ia cari di sana. Tapi tak lama kemudian ia kembali ke kursinya. Duduk dengan ragu-ragu dan kemudian berdiri mondar-mandir kembali. Lama sekali. Aku makin gelisah dan makin gelisah. Ia duduk lagi dengan ragu-ragu.
“Ehm, ehm….” Seketika aku gemetar. Kakiku seolah tak memijak bumi. Hampir-hampir aku roboh, pingsan. Keringat dingin mengucur di seluruh tubuhku. Kulitku seperti mati rasa. Bahkan disayat pun mungkin tak akan terasa. Apa salahku? Aku membatin. Waktu itu aku sudah siap disalahkan. Aku tunggu-tunggu kemarahan Pak Direktur dan aku mulai membayangkan apa yang akan menjadi nasibku kemudian. Hancurlah hidupku. Dan, …. “Maaf, tenggorokan saya sakit.” Ia kembali duduk.
Aku lega. Tapi, hanya sebentar. Aku lagi-lagi harus menunggu apa yang ingin ia katakan. Wajahnya kembali gelisah. “Em…. Saya cuma ingin tahu bagaimana menurutmu cara saya memimipin….?” Tak berlanjut. Ia agak ragu-ragu, agak gugup.
“Baik Pak.” Jawabku singkat.
“Jangan takut. Bicaralah sejujurnya.”
“Baik, Pak. Maksud saya bapak memimpin dengan baik. Mmm... Bapak bisa menaikkan citra perusahaan ini menjadi perusahaan yang terkemuka. Akan tetapi, kebaikan tidak pasti diterima dengan baik, kan Pak?” Kataku sedikit lebih memberanikan diri.
“Jadi, selama ini saya tidak disukai bawahan? Tegasnya, dibenci?” ia bertanya lebih halus dari biasanya. Tapi, tetap saja kaku dan terkesan memojokkan.
“Bu... bukan begitu maksud saya, Pak. Menurut saya tidak ada orang yang bisa disukai semua orang. Selera orang kan berbeda, Pak?”
“Kau pandai mengatur pembicaraan. Kau bisa menusuk orang tanpa merasa sakit. Tak salah aku memilihmu.” Ia terdiam. Sejurus kemudian ada keresahan timbul pada wajahnya. Tampan. Rupanya ini wajah sebenarnya.
“Mmm…. Tri, ada yang ingin kutanyakan padamu.” Kembali ia terdiam. “Sebenarnya sudah lama aku… ingin menyatakan bahwa… aku … suka padamu.”
Aku terkejut. Apa aku tidak salah dengar. Suka? “Maksud..., Bapak?”
“Maksud saya, saya suka padamu seperti laki-laki menyukai perempuan.” Kali ini ia berbicara dengan lancar. Tak ada beban. “Kau mengerti, kan, maksud saya?”
Ya, aku memang mengerti, tapi toh aku belum yakin ini nyata. Aku seperti masuk dunia mimpi saat mataku terbuka lebar. Kalau pun benar, apa aku berani menerimanya? Berpikir untuk mengaguminya saja aku tidak berani.
“Jawablah sekarang. Hari ini juga. Maukah kau menikah denganku?” begitu tiba-tiba. Aku terdiam. Bingung. Jujur saja aku memang kagum. Tapi menikah? Aku ragu. Aku yakin aku ragu. Dan menikah?
“Begini saja aku ingin meminta jawabanmu setelah makan siang. Kapan kau siap datanglah padaku.” Aku keluar dengan gelisah, bingung, bahagia, senyum, kacau. Jam istirahat begitu panjang sampainya.
Jam istirahat selesai. Aku dalam sedikit keraguan dan kebingungan. Tapi aneh. Sejak Pak Direktur menyampaikan perasaannya ada perasaan gembira yang entah mengapa? Dengan pertimbangan yang sangat mentah aku harus memutuskan.
Aku mengetuk pintu ruangan Pak Direktur. “Silahkan duduk.” Aku duduk dengan hati-hati. Aku selalu ragu untuk memulai apa yang akan kukatakan. “Bicaralah. Jangan takut apa pun keputusanmu tidak akan mempengaruhi posisimu.”
Aku kumpulkan keberanian. Memupuk keberanian meski untuk memulai. “Setelah saya pikir saya menerima lamaran Bapak.” Ia tersenyum.
“Baiklah. Aku senang sekali. Mulai besok kamu saya berhentikan.” Aku terkejut. Tak bisa kusembunyikan keterkejutanku. Keringat dingin merembes dari pori-poriku. Apakah ini jebakan? Mengapa aku mudah terpancing?
“Oh…. Maaf saya salah pilih kata. Maksud saya setelah kamu bersedia berarti kau calon istriku. Jadi kamu tidak usah bekerja lagi.”
Comments
Post a Comment