Skip to main content

Prosa atau Fiksi?


MUHRI, M.A.
Kita sering menemukan pada berbagai media menyebut kata prosa untuk karya sastra yang bukan puisi, misalnya teori prosa. Frase teori prosa memiliki arti yang benar jika ditinjau secara sepintas karena di dalamnya membahas novel, cerpen novelet dan sebagainya. Tiga jenis sastra ini bukan merupakan salah satu jenis puisi. Akan tetapi, mengapa terdapat teori drama yang dibahas tersendiri terlepas dari teori prosa. Padahal, drama juga bukan puisi. Jadi drama termasuk prosa. Akan tetapi, mengapa drama tidak dimasukkan ke dalam teori prosa?
Untuk menjelaskan kasus di atas, mari kita telusuri dua istilah tersebut dari segi istilah. Sebagai langkah awal kita buka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai gudang simpanan istilah-istilah baku bahasa Indonesia. Prosa dalam KBBI berarti karangan bebas (tidak terikat oleh kaidah yang terdapat dalam puisi). Dari pengertian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa prosa adalah karangan yang bukan puisi. Dengan demikian yang bukan puisi disebut prosa, termasuk drama, buku biologi, fisika, filsafat dsb. Berkenaan dengan hal-hal yang masuk pada prosa ada yang membagi prosa menjadi dua, yaitu prosa fiksi dan non fiksi.
Sebelum menyimpulkan dari paragraf sebelumnya kita kembali pada kamus KBBI untuk menengok apa arti fiksi. Fiksi dalam KBBI berarti cerita rekaan (roman, novel, dsb). Pengertian ini menunjukkan bahwa yang paling dekat dengan novel, cerpen, dan novelet adalah fiksi. Apakah demikian? Lalu, mengapa prosa lebih populer daripada fiksi.
Untuk mengetahui lebih lanjut mari kita masuk lebih ke dalam. Baik prosa maupun fiksi adalah kata serapan yang berasal dari ilmu pengetahuan Barat. Untuk itu ada baiknya kita mengetahui apa arti istilah tersebut di sana. Sebagai permulaan, kita gunakan Oxford Advance Learner’s Dictionary sebagai acuan untuk mengetahui arti kedua kata tersebut. Dalam kamus tersebut, prosa berarti written or spoken language that is not in verse. Pengertian tersebut dapat diterjemahkan, “bahasa tulis atau lisan yang tidak berbentuk puisi”. Dalam kamus yang sama, fiksi diberi definisi a type of literature describing imaginary events or people, not real ones (sebuah bentuk sastra yang menggambarkan peristiwa atau orang imajiner, yang tidak nyata). Kedua definisi pada paragraf ini mendukung pernyataan paragraf sebelumnya bahwa fiksi lebih tepat digunakan daripada prosa. Akan tetapi, terlalu dini untuk mengatakan demikian. Bukankah kedua referensi tersebut adalah kamus umum, bukan kamus istilah?
Jika ditinjau dari intensitas penggunaan, kata fiksi (fiction) lebih populer daripada prosa (prose) dalam literatur-literatur berbahasa Inggris. Kalau di tempat asalnya fiksi lebih banyak digunakan, mengapa kita malah menyebutnya dengan prosa?
Menurut Abrams (1971: 139) prosa paling sering diartikan sebagai penggunaan bahasa sehari-hari yang dibedakan dari pola-pola pengulangan satuan bahasa bermetrum pada baris puisi. Prosa dalam pengertian ini dipertentangkan dengan puisi Eropa lama yang memiliki metrum sebagai salah satu aturan terikat dari puisi. Dengan demikian, prosa hanya berlaku untuk sastra karena istilah ini adalah istilah sastra. Dengan demikian kita tidak perlu membagi prosa menjadi prosa fiksi dan non fiksi karena prosa tidak populer dalam istilah selain sastra.
Di Eropa fiksi sering diterapkan terutama pada prosa naratif, novel dan cerpen, dan kadang-kadang hanya sebagai sinonim novel. Northrop Fry mengaplikasikan fiksi pada semua karya seni prosa (Abrams, 1971: 60-1). Dengan demikian istilah prosa lebih dahulu digunakan kemudian dalam perkembangannya terganti oleh fiksi. Dengan demikian penggunaan kata prosa untuk karya fiksi naratif benar dan memiliki landasan yang kuat.



DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. 1971. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart, and Winston, Inc.
Hornby, A S. 1995. Oxford Advanced Learner’s Dictionary. Oxford: Oxford University Press
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Comments

Popular posts from this blog

PROBLEMATIKA MORFOLOGIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam morfologi, ada beberapa problema yang dihadapi, seperti halnya dibawah ini : Problematika Akibat Unsur Serapan Problematika Akibat Kontaminasi Problematika Akibat Analogi Problema Akibat Perlakuan Kluster Problema Akibat Proses Morfologis Unsur Serapan Problema Akibat Perlakuan Bentuk Majemuk Peristiwa Morfofonemik Problem Proses Reduplikasi Problema Proses Abreviasi Problema Fungsi Dramatis dan Fungsi Semantis 1.2 Identifikasi Jelaskan pengertian dari masing – masing problematika yang telah tersebutkan diatas ? Jelaskan contoh – contoh yang telah ada tersebut ? BAB II PEMBAHASAN 2.1 Problematika Akibat Kontaminasi Kontaminasi merupakan gejala bahasa yang menga-caukan konstruksi kebahasaan. Kontaminasi dalam konstruksi kata, misalnya : Diperlebarkan , merupakan hasil pemaduan konstruksi diperlebar dan dilebarkan yang masing masing berarti 'dibuat jadi lebih besar lagi' dan 'dibuat jadi lebar'. Oleh sebab itu, konstruks

TEORI STRUKTURALISME GENETIK

Oleh : Ferliana Ishadi Penganalisisan Puisi Menggunakan Teori Strukturalisme Genetik (Tahap Pembelajaran) KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah swt, karena berkat rahmat dan hidayahnya saya dapat menyelesaikan pembuatan tugas mata kuliah Teori Sastra yang merupakan salah satu mata kuliah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Makalah ini disusun berdasarkan kemampuan penyusun untuk menyelesaikan penugasan ini, sesuai dengan literatur – literatur yang saya peroleh untuk “Analisis Antologi Puisi Lumpur” karya Ratih Sanggarwaty. Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah membimbing mahasiswan – mahasiswanya, sehingga tugas ini dapat terselesaikan. Demikian makalah ini disusun, mudah-mudahan bermanfaat untuk seluruh mahasiswa STKIP PGRI Bangkalan khususnya Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Dan selaku penyusun dari makalah ini senantiasa mengharapkan kritik dan saran dari dosen dan rekan-rekan mahasiswa

RADEN SAGARA (ASAL USUL PULAU MADURA)

Pada jaman dahulu, Madura merupakan pulau yang terpecah belah. Yang tampak pada waktu itu adalah gunung Pajuddan dan gunung Gegger di daerah Bangkalan, tempat kelahiran Raden Sagarah. Pada saat itu pula di tanah jawa tepatnya di daerah muara sungai Brantas di Jawa Timur ada sebuah kerajaan bernama “MEDANG KEMULAN”. Kerajaan Medang  Kemulan sangat aman, tentram, dan damai. Semua warganya melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan bidangnya masing-masing. Ca’ epon reng Madura “ lakona lakone kennengga kennengge”, demikian prinsip mereka. Rajanya bernama “Sang Hyang Tunggal” adalah seorang raja yang